Dalam rangka mempublikasikan Cultural Indonesia di Nouvelle
Calédonie, Sulastriningsih sebagai Konsul beserta Konsul Jenderal Republik
Indonesia (Ade Sukendar) di Nouméa menyelenggarakan seminar bertema"L'éxistence
de la Culture Indonésienne en Nouvelle Calédonie et ses Perspectives d'avenir (Keberadaan
Cultural Indonesia di Nouvelle Calédonie dan Perkembangannya di masa yang akan
datang)", diselenggarakan Selasa, 30 November 2010 bertempat di Hotel
Ramadha Plaza.
Acara tersebut merupakan sebuah seminar kultural Indonesia yang dilaksanakan pertama kalinya di Nouméa yang dipandu oleh Sargito (sebagai pembawa acara) beserta Rusmaini (yang memimpin berlangsungnya selama pelaksanaan seminar) dan beberapa staf KJRI diikuti oleh para tamu dan undangan yang hadir dalam seminar.
Pembukaan dimulai dengan persembahan sebuah tarian terbaru pencak silat yang dilaksanakan oleh seorang seniman (Hugo) yang belum lama ini mempelajari seni tari pencak silat yang terbaru selama 3 bulan di Indonesia dalam kunjungan perwakilan budaya dan seni.
Mengingat sudah berkembangnya Cultural Indonesia di Nouvelle Calédonie semenjak tahun 1896 bertepatan dengan silsilah kedatangan sebagian penduduk Indonesia sebagai pendatang baru di Nouvelle Calédonie yang merupakan pegawai imigran yang dikenal dengan sebutan "Javanais". Tepatnya kedatangan imigran penduduk Indonesia pada tanggal 16 Pebruari 1896, menjadikan terlahirnya salah satu bagian dari budaya Indonesia yang mereka bawa.
Sesuai dengan pidato pembukaan yang sudah diutarakan Ade Sikendar bahwa tujuan dengan adanya Seminar Cultural Indonesia maka perkembangannya bisa lebih meningkat dari perkembangan yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Untuk itu Ade Sikendar mengutarakan, budaya Indonesia disertai berbagai ragam tradisi dan harapan untuk lebih meningkatkan budaya Indonesia sangatlah besar. Seperti halnya dilihat dari segi seni tari, seni budaya dan jenis seni lainnya yang berkaitan dengan budaya Indonesia sangatlah pantas untuk dikemukakan dan dibudidayakan ketradisionalannya.
Seperti yang sudah dikemukakan pula oleh Siban sebagai pelopor dalam seminar (yang pernah berkecimpung dalam organisasi masyarakat Indonesia di Nouvelle Calédonie dan diberikan kepercayaan sebagai presiden), dengan panjang lebar mengutarakan pengalaman pribadinya selama di Nouvelle Calédonie.
Ia membicarakan kultural Indonesia, yang salah satunya menceritakan pernikahan tradisional, seni budaya disertai dengan budaya Jawa seperti seni wayang kulit, gamelan dan beberapa seni budaya lain yang masih terlihat minim bila dibanding dengan budaya Indonesia yang sudah memperluas dan berkembang selama ini di Nouvelle Calédonie.
Dalam pembicaraannya, Siban mengutarakan pula bahwa sampai tahun 1960 bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi merupakan bahasa Jawa (mengingat kebanyakan mayoritas suku Jawa yang berimigran) dan mereka tidak mengenal bahasa lain selain bahasa Jawa. Maka dalam berkomunikasi mereka hanya menggunakan bahasa jawa yang kemudian disertai bahasa Perancis yang sedikit demi sedkit menjadi bahasa kedua dari bahasa yang mereka gunakan.
Setelah kedatangan generasi baru, bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia menjadi bagian dari perkembangan bahasa dalam penggunaannya walaupun para tetua Javanais yang berada di Nouvelle Calédonie masih menggunakan bahasa Jawa dan menjadikan perubahan kultural yang selama ini mereka pegang. Walaupun bahasa Jawa sampai sekarang masih menjadi bagian para Javanais dan keturunannya di Nouvelle Calédonie. Namun bahasa Indonesia terus berkembang sebagai bahasa nasional.
Yang lebih menarik lagi adalah pembicaraan dari perwakilan Museum Nouvelle Calédonie yang sudah menyempatkan datang dalam undangan seminar (Mme. Arianne). Dalam pembicaraannya mengungkapkan, selain cultural KANAK (culturalpenduduk asli Nouvelle Calédonie), ketertarikannya untuk lebih mengembangkan dan membagi perbedaan komunitas yang telah berada di Indonesia khususnyacultural Indonesia untuk lebih bekerjasama dalam perkembangannya baik itu dalam segi masakan tradisional, tarian maupun cultural tradisional lainnya yang bersangkutan dengan kultural Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Mme. Arianne pun mengemukakan adanya pelaksanaan presentasi theatre cultural Indonesia di museum yang akan diselenggarakan pada tanggal 9-11 Desember 2010 yang mana apa yang dikemukakannya akan ketertarikan dalam membagi dan bekerjsama untuk meningkatkan perkembangan kultural Indonesia sudah dilaksanakan dan akan terus terlaksana dengan adanya bantuan dan dukungan dari pihak Konsulat Jenderal RI itu sendiri.
Ungkapan dari Ama Bastia (yang kini sudah mengeluarkan buku romance mengenai perjalanan hidupnya dan pengalamannya), berikut dengan ungkapan dan masukan-masukan dari Marsel Magi, Tambunan, Mme. Jacqueline dan beberapa masukan dari para undangan lain menjadikan lengkapnya pelaksanaan seminar kultural Indonesia.
Mme. Rusmaini yang memelopori pembicaraan dari awal sampai akhir seminar menegaskan pula, kultural Indonesia memang harus lebih dikembangkan dan untuk perkembangannya memang diperlukan kerjasama dan membicarakan bagaimana solusinya supaya semua warga Indonesia beserta keturunannya lebih tertarik lagi dalam meningkatkan dan membudidayakan kultural Indonesia.
Seminar pun diakhiri dengan ungkapan dari Ade Sikendar bahwa seminar akan dilaksanakan kembali pada tahun yang akan datang dengan misi yang baru dan perkembangan yang terbaru dengan mengingat adanya masukan-masukan yang baru dan menghasilkan opini yang terbaru dan lebih meningkat. Disertai kesediaannya sebagai Konsul Jenderal RI beserta para staf KJRI untuk lebih bekerjasama ke depannya dengan Museum Nouvelle Calédonie.
Semoga apa yang sudah dibicarakan dan diungkapkan dalam seminar kultural Indonesia bisa lebih meningkatkan segala aktivitas dan lebih memajukan semua generasi untuk lebih memadu dan membudidayakan tradisional serta lebih meningkatkan budaya tersebut ke dalam generasi yang akan datang. Sehingga generasi muda tidak melupakan segala kekayaan tradisi Indonesia dan lebih memperluas serta lebih menggunakan seni dan budaya tradisional yang sudah menjadi bagian dari zaman nenek moyang dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Acara tersebut merupakan sebuah seminar kultural Indonesia yang dilaksanakan pertama kalinya di Nouméa yang dipandu oleh Sargito (sebagai pembawa acara) beserta Rusmaini (yang memimpin berlangsungnya selama pelaksanaan seminar) dan beberapa staf KJRI diikuti oleh para tamu dan undangan yang hadir dalam seminar.
Pembukaan dimulai dengan persembahan sebuah tarian terbaru pencak silat yang dilaksanakan oleh seorang seniman (Hugo) yang belum lama ini mempelajari seni tari pencak silat yang terbaru selama 3 bulan di Indonesia dalam kunjungan perwakilan budaya dan seni.
Mengingat sudah berkembangnya Cultural Indonesia di Nouvelle Calédonie semenjak tahun 1896 bertepatan dengan silsilah kedatangan sebagian penduduk Indonesia sebagai pendatang baru di Nouvelle Calédonie yang merupakan pegawai imigran yang dikenal dengan sebutan "Javanais". Tepatnya kedatangan imigran penduduk Indonesia pada tanggal 16 Pebruari 1896, menjadikan terlahirnya salah satu bagian dari budaya Indonesia yang mereka bawa.
Sesuai dengan pidato pembukaan yang sudah diutarakan Ade Sikendar bahwa tujuan dengan adanya Seminar Cultural Indonesia maka perkembangannya bisa lebih meningkat dari perkembangan yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Untuk itu Ade Sikendar mengutarakan, budaya Indonesia disertai berbagai ragam tradisi dan harapan untuk lebih meningkatkan budaya Indonesia sangatlah besar. Seperti halnya dilihat dari segi seni tari, seni budaya dan jenis seni lainnya yang berkaitan dengan budaya Indonesia sangatlah pantas untuk dikemukakan dan dibudidayakan ketradisionalannya.
Seperti yang sudah dikemukakan pula oleh Siban sebagai pelopor dalam seminar (yang pernah berkecimpung dalam organisasi masyarakat Indonesia di Nouvelle Calédonie dan diberikan kepercayaan sebagai presiden), dengan panjang lebar mengutarakan pengalaman pribadinya selama di Nouvelle Calédonie.
Ia membicarakan kultural Indonesia, yang salah satunya menceritakan pernikahan tradisional, seni budaya disertai dengan budaya Jawa seperti seni wayang kulit, gamelan dan beberapa seni budaya lain yang masih terlihat minim bila dibanding dengan budaya Indonesia yang sudah memperluas dan berkembang selama ini di Nouvelle Calédonie.
Dalam pembicaraannya, Siban mengutarakan pula bahwa sampai tahun 1960 bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi merupakan bahasa Jawa (mengingat kebanyakan mayoritas suku Jawa yang berimigran) dan mereka tidak mengenal bahasa lain selain bahasa Jawa. Maka dalam berkomunikasi mereka hanya menggunakan bahasa jawa yang kemudian disertai bahasa Perancis yang sedikit demi sedkit menjadi bahasa kedua dari bahasa yang mereka gunakan.
Setelah kedatangan generasi baru, bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia menjadi bagian dari perkembangan bahasa dalam penggunaannya walaupun para tetua Javanais yang berada di Nouvelle Calédonie masih menggunakan bahasa Jawa dan menjadikan perubahan kultural yang selama ini mereka pegang. Walaupun bahasa Jawa sampai sekarang masih menjadi bagian para Javanais dan keturunannya di Nouvelle Calédonie. Namun bahasa Indonesia terus berkembang sebagai bahasa nasional.
Yang lebih menarik lagi adalah pembicaraan dari perwakilan Museum Nouvelle Calédonie yang sudah menyempatkan datang dalam undangan seminar (Mme. Arianne). Dalam pembicaraannya mengungkapkan, selain cultural KANAK (culturalpenduduk asli Nouvelle Calédonie), ketertarikannya untuk lebih mengembangkan dan membagi perbedaan komunitas yang telah berada di Indonesia khususnyacultural Indonesia untuk lebih bekerjasama dalam perkembangannya baik itu dalam segi masakan tradisional, tarian maupun cultural tradisional lainnya yang bersangkutan dengan kultural Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Mme. Arianne pun mengemukakan adanya pelaksanaan presentasi theatre cultural Indonesia di museum yang akan diselenggarakan pada tanggal 9-11 Desember 2010 yang mana apa yang dikemukakannya akan ketertarikan dalam membagi dan bekerjsama untuk meningkatkan perkembangan kultural Indonesia sudah dilaksanakan dan akan terus terlaksana dengan adanya bantuan dan dukungan dari pihak Konsulat Jenderal RI itu sendiri.
Ungkapan dari Ama Bastia (yang kini sudah mengeluarkan buku romance mengenai perjalanan hidupnya dan pengalamannya), berikut dengan ungkapan dan masukan-masukan dari Marsel Magi, Tambunan, Mme. Jacqueline dan beberapa masukan dari para undangan lain menjadikan lengkapnya pelaksanaan seminar kultural Indonesia.
Mme. Rusmaini yang memelopori pembicaraan dari awal sampai akhir seminar menegaskan pula, kultural Indonesia memang harus lebih dikembangkan dan untuk perkembangannya memang diperlukan kerjasama dan membicarakan bagaimana solusinya supaya semua warga Indonesia beserta keturunannya lebih tertarik lagi dalam meningkatkan dan membudidayakan kultural Indonesia.
Seminar pun diakhiri dengan ungkapan dari Ade Sikendar bahwa seminar akan dilaksanakan kembali pada tahun yang akan datang dengan misi yang baru dan perkembangan yang terbaru dengan mengingat adanya masukan-masukan yang baru dan menghasilkan opini yang terbaru dan lebih meningkat. Disertai kesediaannya sebagai Konsul Jenderal RI beserta para staf KJRI untuk lebih bekerjasama ke depannya dengan Museum Nouvelle Calédonie.
Semoga apa yang sudah dibicarakan dan diungkapkan dalam seminar kultural Indonesia bisa lebih meningkatkan segala aktivitas dan lebih memajukan semua generasi untuk lebih memadu dan membudidayakan tradisional serta lebih meningkatkan budaya tersebut ke dalam generasi yang akan datang. Sehingga generasi muda tidak melupakan segala kekayaan tradisi Indonesia dan lebih memperluas serta lebih menggunakan seni dan budaya tradisional yang sudah menjadi bagian dari zaman nenek moyang dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
sumber