Sejak negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945
sampai era reformasi saat ini dipandang dari sudut perkembangan demokrasi
sejarah Indonesia, negara kita dalam menjalankan roda pemerintahan dengan
menggunakan demokrasi dibagi dalam empat masa. Pertama, masa Repubik
Indonesia I (1945-1959) atau yang lebih dikenal dengan era Demokrasi Liberal
atau Demokrasi Parlementer. Kedua, masa Republik Indonesia II (1959-1965) atau
yang lebih dikenal dengan era Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin. Ketiga, masa Republik
Indonesia III (1965-1998) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Baru atau
Demokrasi Pancasila. Dan yang terakhir yang berlaku sampai saat ini adalah masa
Republik Indonesia IV (1998-sekarang) atau yang lebih dikenal dengan era
Reformasi.
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang
surut dari setiap masa ke masa. Perkembangan demokrasi tersebut mempengaruhi
pula stabilitas sistem politik Indonesia. Karena itu sangat penting untuk mengkaji
berhasil atau tidaknya suatu rezim yang sedang atau telah berkuasa, diperlukan
suatu kerangka kerja yang dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan
ketatanegaraan. Dalam kajian ini adalah terkait dengan kehidupan politiknya.
Ada dua kerangka kerja yang sering digunakan oleh para pengamat politik untuk
melihat bagaimana kinerja sistem politik suatu negara. Karena salah satu sifat
penting sistem politik adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem
politik lainnya, seperti organisme dan individu misalnya. Kedua kerangka kerja
tersebut adalah pendekatan struktural-fungsional dan pendekatan budaya politik.
Dengan pendekatan struktural-fungsional akan dapat diketahui bagaimana
struktur-struktur maupun fungi-fungsi politik suatu sistem politik bekerja.
Sedangkan dengan pendekatan budaya politik akan dapat diketahui bagaimana
perilaku aktor-aktor politik dalam menjalankan sistem politik yang dianut oleh
negara masing-masing, dalam hal ini adalah elite maupun massanya (Budi
Winarno, 2008: 18).
Karena pentingnya mempelajari perkembangan sistem politik di
negara kita ini, maka dalam tulisan kali ini saya akan mencoba
sedikit mengulas mengenai perkembangan sistem politik Indonesia
dari mulai era Demokrasi Parlementer, era Demokrasi Terpimpin, era Demokrasi
Pancasila, dan yang terakhir adalah era Reformasi dengan menggunakan kerangka
kerja pendekatan budaya politik.
1. Era
Demokrasi Parlementer (1945-1950)
Budaya politik yang berkembang pada era Demokrasi
Parlementer sangatberagam. Dengan tingginya partisipasi massa dalam
menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan
masyarakat telah berbudaya politikpartisipan. Anggapan bahwa rakyat
mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya
deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik yang timbul ketika itu (Rusadi
Kantaprawira, 2006: 190). Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana
dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan
rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah
sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika
itu.
Para elite Indonesia yang disebut penghimpun
solidaritas (solidarity maker) lebih nampak dalam periode demokrasi
parlementer ini. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya
kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian
kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators memegang peranan.
Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar-elite mulai terjadi sejak
terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan PRRI pada tahun 1958 (Rusadi
Kantaprawira, 2006: 191). Selain itu, dengan gaya politik yang
ideologis pada masing-masing partai politik menyebabkan tumbuhnya budaya
paternalistik. Adanya ikatan dengan kekuatan-kekuatan politik yang berbeda
secara ideologis mengakibatkan fungsi aparatur negara yang semestinya
melayani kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani
kepentingan golongan menurut ikatan primordial. Selain itu, orientasi pragmatis
juga senantiasa mengiringi budaya poltik pada era ini.
2. Era
Demokrasi Terpimpin (Dimulai Pada 5 Juli 1959-1965)
Budaya politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai
dengan sifat primordialisme seperti pada era sebelumnya. Ideologi masih tetap
mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui Penpres No.
7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Tokoh politik
memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Gagasan
tersebut menjadi patokan bagi partai-partai yang berkembang pada era Demorasi Terpimpin.
Dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan politik (Rusadi
Kantaprawira, 2006: 196).
Selain itu, paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih
subur di kalangan elit-elit politiknya. Adanya sifat kharismatik dan
paternalistik yang tumbuh di kalangan elit politik dapat menengahi dan
kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang bertikai, baik dengan
sukarela maupun dengan paksaan. Dengan demikian muncul dialektika bahwa pihak
yang kurang kemampuannya, yang tidak dapat menghimpun solidaritas di arena
politik, akan tersingkir dari gelanggang politik. Sedangkan pihak yang lebih
kuat akan merajai/menguasai arena politik.
Pengaturan soal-soal kemasyaraktan lebih cenderung dilakukan
secara paksaan. Hal ini bisa dilihat dari adanya teror mental yang dilakukan
kepada kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra revolusi ataupun
kepada aliran-aliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai mutlak yang telah
ditetapkan oleh penguasa (Rusadi Kantaprawira, 2006: 197).
Dari masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi berupa
tuntutan yang diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas sistem
yang ada. Namun, saluraninputnya dibatasi, yaitu hanya melalui Front
Nasional. Input-input yang masuk melalui Front Nasional tersebut
menghasilkan output yang berupa output simbolik melalui
bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya menguntungkan rezim yang sedang berkuasa.
Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap memiliki budaya politik
sebagai partisipan, melainkan menujukkan tingkat budaya politik kaula,
karena diciptakan atas usaha dari rezim.
3. Era
Demokrasi Pancasila (Tahun 1966-1998)
Gaya politik yang didasarkan primordialisme pada era Orde
Baru sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang
pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada era ini secara material,
penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition)
antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan
perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern (Rusadi Kantaprawira, 2006:
200).
Sementara itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik
yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang
terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya
masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit politik karena
segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Kultur ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era
ini. Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi
patrimonial, yakni suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik
intern maupun ekstern adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya
sangat pribadi dan khas.
Dari penjelasan diatas, mengindikasikan bahwa budaya politik
yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek. Dimana semua
keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah
pemerintahan otoriterianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan
keputusan hanya sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang
hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer.
Di masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik telah
menyebabkan kekuasaan tak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga
peluang tumbuhnya civil society terhambat. Contoh budaya
politik Neo Patrimonialistik adalah :
a. Proyek
di pegang pejabat.
b. Promosi
jabatan tidak melalui prosedur yang berlaku (surat sakti).
c. Anak
pejabat menjadi pengusaha besar, memanfaatkan kekuasaan orang tuanya dan
mendapatkan perlakuan istimewa.
d. Anak
pejabat memegang posisi strategis baik di pemerintahan maupun politik.
4. Era
Reformasi (Tahun 1998-Sekarang)
Budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah
budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di
kalangan elit politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik
demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi
sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era
selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut Karl D. Jackson dalam
Budi Winarno (2008), budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam
mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia. Relasi antara
pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak
patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk meraih
kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elit merupakan
salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk
dalam Budi Winarno (2008) mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa
birokrasi publik masih mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada
sebagai abdi yang bersedia melayani masyarakat dengan baik. Hal ini dapat
dilihat dari perilaku para pejabat dan elit politik yang lebih memperjuangkan
kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat secara
keseluruhan.
Dengan menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih
cenderung mengejar status dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun
1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan,
namun kuatnya budaya politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih
berkembang di kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih
senantiasa mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik,
akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih
memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang
berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Menurut Ignas Kleden dalam Budi Winarno (2008), terdapat
lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang berlangsung
sejak reformasi 1998, antara lain:
Orientasi Terhadap kekuasaan
Misalnya saja dalam partai politik, orientasi pengejaran
kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai
politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
Politik mikro vs politik makro
Politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik
mikro yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas
pada tukar-menukar kepentingan politik. Sedangkan pada politik makro tidak
terlalu diperhatikan dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar
kekuatan-kekuatan sosial seperti negara, masyarakat, struktur politik,
sistem hukum, civil society, dsb.
Kepentingan negara vs kepentingan masyarakat
Realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan negara
dibandingkan kepentingan masyarakat.
Bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama
Desentralisasi politik
Pada kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi
politik, melainkan lebih pada berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah.
Dengan demikian, budaya politik era reformasi tetap masih
bercorak patrimonial, berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat
paternalistik, dan pragmatis. Hal ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam
Budi Winarno (2008) karena adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi
struktur dan fungsi-fungsi politiknya, namun tidak pada budaya politik yang
melingkupi pendirian sistem politik tersebut.
Referensi:
Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia
Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cetakan ke X.
Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Winarno, Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era
Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar