Globalisasi
budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang bersifat fleksibel dan
berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama
Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri
budayanya seperti musik, olahraga, fastfood, mode pakaian, dan film-film
Amerika di seluruh dunia. Namun kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai
sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah, budaya pop menjadi sangat terbuka
untuk diisi oleh budaya mana pun. Globalisasi budaya memungkinkan dibukanya
kelas-kelas yoga di New York dan restoran sushi di Kuwait. Peran media massa
dalam menyebarkan informasi menjadikan proses ini makin cepat, dengan
persinggungan antar budaya yang mengalir deras melahirkan variasi kebudayaan
yang sangat beragam. Dalam situasi seperti ini, pilihannya hanya mempengaruhi
dan dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa kita
tidak ikut memberi pengaruh? Karena itu, sudah saatnya kita bersikap serius
untuk terjun dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada
dunia.
Yang harus
kita tentukan mula-mula ialah definisi kebudayaan kita sendiri. Apa itu budaya
Indonesia? Batik, angklung, wayang, mandau, tari saman, gotong royong,
paguyuban, nagari, apa pun itu, daftarkan satu per satu baik budaya tradisi
maupun kontemporer, baik budaya kongkrit maupun abstrak. Sebelum mulai
menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu budaya kita. Ini penting terutama
ketika kita berurusan dengan masalah hak cipta, kekayaan intelektual dan
kekayaan budaya. Budayawan Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa ada dua hal
yang bertentangan dalam budaya yakni perilaku ‘memiliki’ sekaligus
‘menyebarkan’. Paradoks ini kita temui tatkala terjadi saling klaim atas suatu
budaya seperti yang kita alami akhir-akhir ini dengan Malaysia. Ini menjadi
satu kesulitan tersendiri, karena di satu sisi kita semestinya bangga terhadap
luasnya penyebaran budaya kita, tapi di sisi lain kita merasa hak milik kita
dirampas. Kebudayaan Indonesia pun nyatanya sangat banyak yang merupakan pengaruh
kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan barongsai dan potehi
dalam festival budaya Indonesia? Saya juga tak ingin rakyat India mendemo kita
karena memainkan lakon-lakon Ramayana. Maka inventarisasi terhadap aset-aset
kebudayaan kita penting untuk dilakukan, namun dengan tetap meniscayakan
asimilasi dan akulturasi. Berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada
selayaknya dimaksimalkan.
Setelah
memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka berikutnya kita perlu
menggegas industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan nilai ekonomi yang
tinggi, maka kebudayaan kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan daya
saing dan kemampuan survivalnya, memberi imbas positif bagi kesejahteraan
masyarakat serta menjadi jalan menuju ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana
industrialisasi budaya mendorong ekspansi budaya? Hal ini terjadi karena
industri membutuhkan pasar yang besar, dan pasar dari industri budaya adalah
orang-orang yang berminat terhadap budaya tersebut. Maka kesuksesan industri budaya
berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali industri
tersebut melakukan ekspansi pasar, maka ia juga telah melakukan ekspansi
budaya. Ada pun ekspansi budaya membutuhkan produkproduk yang agresif, yaitu
produk-produk berorientasi ekspor yang mampu membawa nama Indonesia ke seluruh
dunia.
Dalam proses
ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan metode penyebaran yang tepat. Meski
pun kita telah melakukan industrialisasi batik, namun permintaan batik di luar
negeri tidak akan serta merta melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu
dengan produk batik. Lalu bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak
budaya kita kepada pasar luar negeri? Bahkan untuk memperkenalkannya saja sudah
sulit. Menurut Turner (1984), budaya pop dan media massa memiliki hubungan
simbiotik di mana keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaborasi yang
sangat kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh
media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media massa hidup dengan
cara mengekspos budaya-budaya yang sedang dan akan populer. Maka kita harus
memprioritaskan terlebih dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan
komunikasi massa. Saya memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi
budaya secara serius. Film yang saya maksud meliputi film layar lebar dan
sinetron di televisi. Format audio visual memungkinkan film untuk menarik
perhatian lebih besar, menjadikannya efektif dalam komunikasi massa. Alur
cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap maksud film dengan cara
yang menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan sampingan
yang tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar